Jakarta – Kasus yang melibatkan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, terus mendapat sorotan tajam. Setelah hampir lima tahun sejak penyidikan dimulai pada Januari 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengeluarkan empat Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dalam perkara yang sama, yang dinilai oleh beberapa pihak sebagai langkah yang tidak biasa dan berpotensi menambah pemborosan anggaran negara.
Tim hukum PDIP dan sejumlah pengamat mengkritik langkah KPK yang dianggap tidak transparan dan diduga lebih mengarah pada agenda politik daripada penegakan hukum yang objektif. Pihak PDIP menilai, pengeluaran empat Sprindik dalam satu kasus menjadi bukti adanya perbedaan pendapat di internal KPK. Mereka juga mempertanyakan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menangani kasus ini, termasuk anggaran yang digunakan untuk pencarian Harun Masiku, tersangka yang hingga kini masih buron.
Kritik terhadap Prosedur dan Bukti yang Tidak Jelas
Tim hukum PDIP menyoroti ketidaksesuaian prosedur yang diambil oleh KPK dalam penggeledahan dan penyitaan barang-barang milik Hasto. Dalam proses ini, KPK sempat menyita sejumlah barang, termasuk flashdisk dan buku kecil, namun tidak pernah memberikan penjelasan secara transparan mengenai hubungan barang-barang tersebut dengan perkara yang sedang ditangani. Hal ini menambah kecurigaan bahwa penyidikan ini lebih dipengaruhi oleh motif politik daripada kebutuhan hukum yang jelas.
Sementara itu, saksi-saksi yang telah dipanggil dalam kasus ini, seperti Wahyu Setiawan, menyatakan bahwa mereka tidak memberikan keterangan baru yang mendukung dugaan keterlibatan Hasto dalam tindak pidana suap. Bahkan, tim hukum Hasto mempertanyakan motif dari penyidikan ini, mengingat tidak ada bukti yang kuat yang mengarah pada keterlibatannya dalam suap terkait dengan Harun Masiku, yang diduga terlibat dalam pemberian suap untuk pemilihan anggota KPU.